Puing-puing Menara Romawi (Roman Tower), di Babilon, Kairo, Mesir (Antara/ Ismar Patrizki)
Sejarah tertulis tentang runtuhnya kekaisaran Romawi cukup beragam. Ada yang mengatakan imperium raksasa Eropa itu runtuh karena Kaisar Valens kalah pada pertempuran Adrianople pada tahun 378.
Ada pula yang menganggap kematian Theodosius I, kaisar terakhir, sebagai akhir dari Kekaisaran Romawi yang tunggal. Sebab, sejak saat itu, kekuasaannya dibagi pada dua anaknya, Arcadius dan Honorius.
Tapi sebuah penelitian ilmiah berkata lain. Sejumlah peneliti mempelajari lingkaran pohon untuk menguak dampak ketidakstabilan pola iklim. Temuannya cukup mengejutkan. Sejumlah rahasia masa silam justru terkuak, termasuk runtuhnya Kekaisaran Romawi.
Para peneliti menemukan periode hangat, dan cuaca basah diasosiasikan dengan kesejahteraan. Sementara periode kering, dan kondisi semacamnya selalu terjadi di tengah kekacauan politik, seperti runtuhnya Romawi dan Perang 30 Tahun.
Peneliti merekonstruksikan sejarah iklim musim panas Eropa pada 2.500 tahun silam, dengan menggunakan artefak kayu yang diobservasi. Hasil penelitian mereka didasarkan pada pengukuran lingkaran pohon dari sub-fosil, ornamen arkeologi, dan sampel pohon hidup di wilayah Jerman, Prancis, Italia, dan Austria.
"Peningkatan aktivitas perubahan iklim dalam kurun tahun 250-600 Masehi bertepatan runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat, dan masa gejolak migrasi besar-besaran," kata peneliti dalam website jurnal Science, yang dikutip VIVAnews dari Telegraph, Rabu 19 Januari 2011.
"Masa kering di abad ketiga bertepatan dengan masa krisis dalam tubuh Kekaisaran Romawi Barat, ditandai dengan invasi barbar, kekacauan politik, dan dislokasi ekonomi di beberapa propinsi Gaul," tulis peneliti.
Buntgen, salah satu peneliti, berharap jika temuan ini dapat menjadi peringatan bagi penduduk dunia agar lebih waspada terhadap model perubahan iklim yang bisa mempengaruhi hubungan sosial.
"Hasil kami akan mengingatkan kita semua agar lebih waspada sekaligus menyadarkan kita bahwa peradaban modern tidak imun dari perubahan iklim," kata Buntgen.